Master of Fine Arts: Cerita Serius Tapi Santai Tentang Dunia Kreatif yang Bisa Bikin Kamu Hidup Lagi
Master of Fine Arts – Pernah nggak kamu ngerasa kayak hidupmu cuma muter di rutinitas yang gitu-gitu aja? Bangun, kerja, makan, tidur, ulang lagi. Kadang aku juga ngerasa kayak gitu, sampai akhirnya suatu hari aku sadar… aku kangen bikin sesuatu. Kangen ngelukis, nulis, ngedit video, atau sekadar ngelamun sambil ngebayangin adegan film di kepala. Dan dari situ aku mulai mikir: “Kalau hidup bisa diisi dengan hal yang bikin hati nyala, kenapa nggak sekalian seriusin?”
Nah, dari situlah aku mulai kenal istilah Master of Fine Arts, atau biasa disebut MFA. Awalnya aku pikir, itu cuma buat orang-orang super jenius di dunia seni—yang karyanya udah masuk galeri atau festival film besar. Tapi ternyata nggak gitu juga. MFA itu sebenernya kayak jalan buat siapa pun yang pengin memperdalam dunia seni dengan serius, tapi tetap pengin punya arah karier yang jelas.
Jadi, MFA itu sebenarnya apa, sih?
Gampangnya, Master of Fine Arts adalah program pascasarjana yang dirancang khusus buat orang-orang kreatif. Beda banget sama gelar akademik yang isinya teori atau riset ilmiah. Di MFA, kamu bakal “nyemplung” langsung ke proses penciptaan karya. Kamu bukan cuma belajar konsep seni, tapi bener-bener praktek—mulai dari eksplorasi ide, eksperimen teknik, sampai cara mempresentasikan karya dengan percaya diri.
Yang bikin seru, sistem belajar di MFA itu mirip banget sama studio. Kamu bakal kerja bareng mentor, diskusi sama teman seangkatan, dan sering banget ada sesi kritik terbuka. Jadi setiap karya yang kamu buat bakal dikupas bareng-bareng. Kadang rasanya deg-degan juga sih, tapi justru dari situ kamu belajar banyak hal baru yang bikin kamu berkembang.
Kenapa sih banyak orang ngejar gelar MFA?
Nah, ini pertanyaan menarik. Jawabannya, karena MFA itu bukan sekadar gelar, tapi pengakuan profesional. Di dunia seni, punya MFA bisa jadi pembeda antara “orang yang bisa bikin karya” dan “seniman yang paham arah dan konsep karyanya”.
Contohnya, di bidang creative writing, banyak penulis besar yang dulunya lulusan MFA. Mereka nggak cuma belajar nulis yang bagus, tapi juga belajar gimana caranya membangun karakter, menciptakan emosi, dan mengolah kata dengan lebih dalam. Kalau kamu di dunia film, MFA bisa bantu kamu paham detail yang jarang disadari—kayak bahasa visual, storytelling, atau cara mengarahkan aktor.
Dan ya, di industri yang makin kompetitif, gelar ini bisa jadi tiket buat dapet kepercayaan lebih. Banyak galeri, penerbit, atau production house yang ngeliat lulusan MFA sebagai orang yang punya disiplin dan visi seni yang matang.
Tapi apa cuma soal gengsi dan gelar doang?
Enggak kok. Justru MFA itu lebih ke journey pribadi. Selama belajar, kamu bakal nemuin banyak hal baru tentang dirimu sendiri. Kadang kamu sadar, ternyata gaya karyamu berubah. Atau kamu mulai ngerti kenapa dulu suka banget sama tema tertentu.
Buat sebagian orang, program ini jadi tempat buat “menemukan suara” mereka di dunia seni. Bukan cuma soal teknik atau teori, tapi tentang identitas kreatif. Kamu bakal punya waktu buat benar-benar fokus bikin karya tanpa gangguan rutinitas luar. Bayangin, tiap hari kamu bangun pagi, terus seharian berkarya, diskusi, dan bereksperimen dengan hal-hal yang kamu suka. Kedengarannya menyenangkan banget, kan?
Terus, pelatihannya kayak gimana?
Nah, ini bagian yang paling aku suka. Di program pelatihan MFA, pendekatannya bukan cuma kelas dan teori, tapi juga studio practice. Jadi, kamu bakal sering diajak bikin proyek pribadi, ikut pameran, sampai kolaborasi dengan seniman atau mahasiswa dari jurusan lain.
Misalnya di pelatihan MFA in Fine Arts, kamu bisa belajar dari seniman profesional yang udah keliling dunia. Mereka bakal bantu kamu nyari ciri khas karya sendiri. Atau kalau kamu ambil MFA in Film Production, kamu bakal punya kesempatan bikin film pendek dari nol, lengkap dengan proses produksi profesional.
Kebayang nggak, betapa berartinya punya mentor yang beneran ngerti dunia seni dan bisa bantu kamu berkembang? Dan yang lebih menarik lagi, pelatihan semacam ini sekarang banyak banget yang bisa kamu ikutin, termasuk di Indonesia. Beberapa lembaga juga nyediain versi hybrid, jadi kamu bisa belajar dari rumah tapi tetap dapet pengalaman intensif lewat workshop tatap muka.
Buat siapa sih sebenarnya MFA ini cocok?
Kalau kamu ngerasa seni udah jadi bagian hidup kamu, dan kamu pengin bener-bener hidup dari situ—MFA cocok banget buat kamu. Kadang orang mikir, “Ah, aku belum sehebat itu,” tapi justru MFA dirancang buat bantu kamu nyampe ke level itu. Kamu nggak perlu jadi seniman terkenal dulu baru boleh daftar. Yang penting kamu punya semangat buat belajar dan berkembang.
Banyak juga orang yang datang dari latar belakang non-seni, loh. Misalnya dulu kerja di dunia korporat, tapi sadar bahwa panggilan hatinya ada di bidang kreatif. Jadi, kalau kamu lagi ngerasa pengin pindah arah karier, program ini bisa jadi awal yang bagus.
Terus, gimana peluang karier setelah lulus MFA?
Besar banget. Kamu bisa jadi seniman independen, penulis profesional, film maker, desainer kreatif, atau bahkan dosen seni. Dunia kreatif itu luas, dan kebutuhan akan orang-orang yang punya kemampuan artistik sekaligus pemikiran kritis terus meningkat.
Misalnya kamu suka nulis, kamu bisa kerja di penerbit, media, atau bikin platform tulisan sendiri. Kalau kamu dari bidang visual art, kamu bisa buka studio pribadi, bikin pameran, atau kerja sama brand besar. Banyak juga alumni MFA yang akhirnya jadi konsultan kreatif atau kurator di museum.
Yang menarik, gelar ini juga bikin kamu punya jaringan luas. Bayangin aja, selama masa pelatihan kamu bakal ketemu banyak orang berbakat dari berbagai negara. Itu bisa jadi modal besar buat kolaborasi di masa depan.
Jadi, kalau pengin ikut pelatihan MFA, mulai dari mana?
Langkah pertama, cari tahu dulu bidang seni yang paling kamu cintai. Dari situ baru deh riset kampus atau lembaga yang punya program MFA di bidang itu. Banyak banget opsi di luar sana—baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Kedua, siapkan portofolio. Ini penting banget, karena portofolio bakal nunjukin siapa kamu sebagai seniman. Nggak harus sempurna kok, yang penting jujur dan merepresentasikan karya terbaikmu.
Ketiga, jangan ragu buat ikut pelatihan persiapan dulu. Ada banyak pelatihan singkat tentang seni visual, penulisan kreatif, atau film yang bisa bantu kamu ngerti cara kerja MFA. Kalau kamu mau, aku bisa ajak kamu ikut pelatihan semacam itu bareng. Serius, pengalaman belajarnya tuh bikin ketagihan.
Kadang yang bikin ragu itu biayanya
Nah, ini juga hal yang sering bikin orang mikir dua kali. Tapi sekarang banyak banget beasiswa buat program MFA. Dari universitas, lembaga seni, sampai organisasi internasional. Jadi jangan langsung mundur karena alasan biaya. Banyak peserta yang akhirnya dapet full scholarship cuma karena portofolionya keren dan punya semangat kuat.
Kalau kamu pengin mulai dari langkah kecil dulu, ikut pelatihan lokal juga bisa jadi awal yang bagus. Pelatihan semacam ini biasanya udah dirancang mirip sistem MFA—ada praktik, mentoring, dan evaluasi karya. Siapa tahu, dari situ kamu bisa bangun portofolio dan lanjut ke program yang lebih besar.
Aku sih yakin, kalau kamu punya jiwa seni yang kuat, kamu bakal suka banget sama pengalaman ini
Bayangin tiap hari kamu bisa berekspresi, belajar dari seniman yang udah punya nama, dan ngerasain gimana rasanya hidup di lingkungan yang penuh ide. Rasanya kayak punya dunia sendiri yang selalu menantang dan bikin semangat.
Kalau kamu pengin mulai, aku bisa bantu rekomendasi beberapa pelatihan keren yang fokus ke pengembangan kreatif, mirip konsep MFA tapi versi singkatnya. Kita bisa ikut bareng, biar seru. Kadang langkah kecil kayak gitu justru bisa ngebuka peluang besar.
Jadi gimana? Kamu masih mau biarin passion kamu cuma jadi hobi? Atau mau mulai langkah kecil buat bener-bener hidup dari karya kamu sendiri? Dunia seni itu luas banget, dan tempatnya selalu ada buat orang yang berani mulai. Kalau kamu udah siap, yuk kita bahas bareng pelatihan apa yang cocok buat kamu ikuti dulu. Aku janji, begitu kamu nyobain rasanya, kamu bakal ngerti kenapa Master of Fine Arts itu bukan cuma tentang belajar seni—tapi tentang menemukan versi terbaik dari dirimu sendiri.