Microservices vs Monolithic
Microservices vs Monolithic – Pernah nggak sih kamu ngerasa sistem di kantor makin lama makin ribet? Tiap kali ada perubahan kecil di aplikasi, ujung-ujungnya satu sistem malah error semua. Aku juga pernah ngalamin hal itu, dan waktu itu satu-satunya kata yang keluar dari mulutku cuma, “Aduh…”
Nah, waktu itu salah satu temenku yang kerja di bidang IT bilang, “Coba deh kenali yang namanya microservices.” Aku masih bengong waktu dia bilang gitu, karena di kepalaku cuma ada satu bayangan: sistem itu ya satu aplikasi besar yang di dalamnya semua komponen nyatu—kayak rumah gede yang tiap ruangannya saling tersambung. Ternyata itu yang disebut monolithic.
Dan di sinilah ceritanya jadi menarik. Setelah aku mulai ngerti bedanya microservices vs monolithic, aku ngerasa kayak baru nemu dua dunia yang punya filosofi berbeda banget soal cara ngebangun sistem.
Ngomongin Monolithic dulu deh
Bayangin kamu lagi bangun rumah gede banget. Di dalamnya ada ruang tamu, dapur, kamar mandi, kamar tidur, semuanya jadi satu bangunan utuh. Enaknya, kalau kamu baru mulai, desainnya lebih gampang. Cuma bikin satu rumah besar, semua fungsi udah ada di dalam.
Nah, sistem monolithic tuh kayak gitu. Semua komponen—mulai dari UI, logika bisnis, sampai database—nyatu dalam satu aplikasi besar.
Dulu model ini populer banget. Karena buat perusahaan kecil atau startup yang baru jalan, monolithic itu cepat dikembangkan dan mudah di-deploy. Cukup satu server, satu aplikasi, beres.
Tapi makin lama, makin banyak fitur ditambah, sistemnya makin gemuk. Dan mulai deh muncul masalah:
-
Kalau ada bug di satu modul, bisa ganggu seluruh aplikasi.
-
Kalau mau update kecil aja, semua sistem harus di-deploy ulang.
-
Kalau satu fitur bikin error, yang lain bisa ikut tumbang.
Kayak rumah besar yang setiap kali kamu mau ganti lampu di dapur, kamu harus matiin listrik satu rumah dulu. Capek banget, kan?
Nah, sekarang kita masuk ke Microservices
Microservices ini konsepnya kebalikannya monolithic. Ibarat rumah, kamu nggak bangun satu bangunan besar, tapi bikin kompleks kecil berisi rumah-rumah terpisah: satu rumah buat dapur, satu buat kamar tidur, satu buat ruang tamu. Semuanya punya fungsi masing-masing, tapi masih bisa komunikasi lewat jalan kecil yang menghubungkan satu sama lain.
Secara teknis, microservices architecture itu memecah aplikasi besar jadi layanan-layanan kecil yang independen. Tiap layanan punya tanggung jawab spesifik. Misal, satu layanan khusus untuk autentikasi, satu untuk pembayaran, satu lagi untuk manajemen pengguna.
Dan ini nih bagian serunya: kalau satu layanan error, yang lain masih bisa jalan. Jadi nggak ada istilah “satu error bikin sistem tumbang semua.”
Selain itu, tiap layanan bisa dikembangkan pakai bahasa pemrograman atau teknologi yang berbeda. Misal, tim A pakai Java, tim B pakai Python, nggak masalah. Karena semuanya dikomunikasikan lewat API.
Tapi, yang namanya hidup, selalu ada plus minus
Aku nggak mau bilang microservices itu selalu lebih baik, karena kenyataannya nggak sesederhana itu. Yuk, kita bahas santai aja ya—biar kamu kebayang kalau nanti mau ikutan pelatihan tentang ini, kamu udah punya gambaran awal.
Monolithic
Kelebihan:
-
Simpel dan cepat dibangun untuk proyek kecil
-
Lebih mudah di-debug di tahap awal
-
Cukup satu server, satu kode dasar
Kekurangan:
-
Susah dikembangkan kalau udah besar
-
Sulit di-scale sebagian modul
-
Perubahan kecil bisa bikin sistem lain kena imbas
Microservices
Kelebihan:
-
Lebih fleksibel dan modular
-
Tiap layanan bisa dikembangkan dan di-deploy terpisah
-
Gampang scale up di bagian yang lagi sibuk aja
Kekurangan:
-
Perlu koordinasi antar tim yang lebih kompleks
-
Komunikasi antar layanan bisa jadi bottleneck
-
Perlu sistem monitoring yang kuat
Ceritaku waktu belajar konsep ini – Microservices vs Monolithic
Jujur ya, dulu aku termasuk yang bingung waktu pertama kali ngerti microservices. Di pelatihan pertama yang aku ikutin, fasilitatornya bilang, “Microservices itu bukan cuma tentang teknologi, tapi juga tentang cara berpikir.”
Dan itu benar banget.
Aku inget banget waktu sesi praktik, kami dikasih studi kasus ngebangun aplikasi sederhana tapi dibagi ke beberapa layanan kecil. Awalnya pusing, karena kita harus mikirin cara biar semuanya bisa komunikasi lancar. Tapi setelah ngerti alurnya, malah jadi nagih.
Lucunya, pas istirahat makan siang, kita pada ngobrol kayak,
“Ternyata enak juga ya kalau sistemnya modular begini. Kalau bagian login rusak, paling yang kena cuma login-nya doang, bukan seluruh aplikasi.”
Dan itu jadi momen aha! buat aku. Kadang kita perlu ngerasain langsung baru bisa ngerti kenapa arsitektur itu penting.
Microservices vs Monolithic dalam dunia nyata
Kamu pasti tahu beberapa perusahaan besar kayak Netflix, Amazon, atau Gojek. Nah, mereka tuh udah pakai arsitektur microservices sejak lama. Karena apa? Karena sistem mereka besar banget, melayani jutaan pengguna tiap detik. Kalau mereka pakai monolithic, bisa-bisa servernya kewalahan tiap kali ada perubahan kecil.
Tapi bukan berarti monolithic udah ketinggalan zaman. Banyak juga perusahaan yang masih pakai model ini, terutama buat proyek kecil atau produk awal yang belum terlalu kompleks. Karena jujur aja, microservices butuh persiapan besar, mulai dari infrastruktur, komunikasi antar layanan, sampai tim developer yang solid.
Jadi, bukan soal mana yang lebih bagus, tapi mana yang cocok. Kalau sistem kamu masih kecil, monolithic bisa jadi pilihan efisien. Tapi kalau udah berkembang pesat, microservices bisa jadi penyelamat.
Ngomong-ngomong soal pelatihan…
Aku kepikiran, kamu pasti bakal lebih ngerti kalau ngalamin langsung daripada cuma dengerin aku ngoceh gini. Aku dulu juga begitu. Jadi waktu tau ada pelatihan “Implementasi Microservices Architecture” aku langsung daftar.
Di situ kita belajar langsung gimana cara pecah sistem, ngebangun API, sampai nge-handle komunikasi antar layanan. Yang paling seru, kita disuruh bikin simulasi kasus nyata. Kayak bikin aplikasi toko online yang backend-nya dibagi jadi layanan kecil: produk, order, pembayaran, dan notifikasi.
Hasilnya? Aku jadi ngerti bukan cuma teori, tapi juga realitas implementasinya. Dan kalau kamu ikut juga, kita bisa belajar bareng. Aku udah bayangin suasananya—santai, interaktif, dan banyak aha-moment-nya.
Intinya nih… – Microservices vs Monolithic
Kalau disimpulkan dalam satu kalimat, perbedaan microservices vs monolithic itu kayak perbedaan antara satu bangunan besar dengan banyak ruangan, versus kompleks kecil berisi banyak rumah yang saling terhubung. Dua-duanya punya kelebihan masing-masing, tergantung skala dan kebutuhan.
Tapi satu hal yang pasti: dunia IT sekarang udah bergerak ke arah arsitektur yang lebih fleksibel. Jadi, ngerti konsep ini tuh penting banget. Entah kamu developer, system analyst, atau bahkan orang manajemen yang pengen tahu gimana sistem perusahaan bekerja, paham tentang microservices itu investasi jangka panjang.
Dan serius, lebih asyik kalau belajarnya bareng. Jadi gimana, mau aku daftarin kamu sekalian ke batch pelatihan berikutnya? Katanya sih, sesi berikutnya bakal bahas langsung praktek bikin microservices dari nol. Siap-siap ya, karena kayaknya bakal seru banget!